Kecintaan warga Janti pada seni dan budaya tak diragukan lagi.
Sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal, maka
tradisi berkesenian pun berkebudayaan tetap menjadi bahan layak uji.
Karena masih menjadi bagian dari tlatah Ngayogyakarta Hadiningrat,
sudah barang tentu kesenian dan kebudayaan yang ada di
pedukuhan Janti bakal kental dengan nuansa budaya Jawa.
Dan tak bisa dielakkan lagi bahwa potensi seni budaya tersebut juga
merupakan hasil dari cipta, rasa, serta
karsa masyarakat di pedukuhan Janti yang sudah mengakar
dalam kehidupan sehari-hari, dimana tak jarang hal itu juga
dijunjung tinggi sebagai wahana penegakan norma-norma kehidupan yang
luhur. Tradisi pun budaya gotong-royong adalah satu contoh realnya.
Karena kesadaran akan makna seni dan budaya yang merupakan sebuah
identitas, maka sebagian warga Janti tetap setia 'nguri-uri'
seni dan budaya tersebut. Hal ini tak bisa lepas dari cara
pandang bahwa kemajuan seni dan budaya akan membawa pengaruh yang
positif, baik pada sisi usaha pelestarian dan pengembangan seni
budaya itu sendiri ataupun bagi masyarakat pendukungnya, baik di
wilayah sosial, bahkan ekonomi.
Sanggar Tari Ngrenas adalah
satu dari jenis pelestarian seni dan budaya di wilayah Pedukuhan
Janti. Sanggar tari tersebut terbentuk secara swadaya, swakarsa, dan
swasembada dibawah asuhan Bapak Sunarto
yang sekaligus berprofesi sebagai Guru Tari di SMKI (Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia) Yogyakarta.
Selain sanggar tari, masih ditempat
yang sama juga terdapat Paguyuban kesenian Jathilan
bernama Bekso Kyai Janti.
Ini adalah sebentuk kesenian jathilan atau kuda lumping a.k.a kuda kepang yang ada di wilayah pedukuhan Janti.
Pelaku
kesenian Jathilan digawangi oleh putra-putri -asli- daerah Janti,
baik Janti Lor ataupun Janti Kidul. Namun juga tetap membuka
kesempatan warga desa lain yang berkeinginan untuk ikut bergabung
“nguri-uri”
kesenian jathilan tersebut. [uth]